Oleh: Yuniyanti Chuzaifah
Pegiat HAM Perempuan, Ketua Komnas Perempuan 2010-2014
Sebagai makalah yang disampaikan pada kegiatan webinar Diplomasi HAM RI: Nasib Civil Society di Afghanistan Pasca Taliban Berkuasa yang diselnggarakan oleh Lembaga Peradaban Luhur (LPL) , Kamis, 30 September 2021
Catatan Pembuka
Konflik membuat wajah perempuan tersembunyi. Pada awal Taliban lahir, isu perempuan kerap menjadi alat untuk legitimasi dengan mengatasnamakan perlindungan perempuan dari perkosaan. Dalam perkembangannya, justru isu yang digulirkan oleh Taliban ini menjadi proteksionis yang mencerabut berbagai hak asasi perempuan. Sedangkan dampak perang di Afghanistan yang terus mengemuka, yang terus terlihat adalah kejahatan, senjata dan wajah maskulin yang membuat wajah perempuan tersembunyi .
Indonesia, Taliban, dan Radikalisme
Dengan kembalinya Taliban berkuasa di Afghanistan, harapan dunia tertuju pada Islam Indonesia dalam konteks global untuk masalah moderasi dan second muslim majority. Ada dua kemungkinan dampak dari kembalinya Taliban berkuasa di Afghanistan, yaitu: Taliban memliki potensi dampak bagi menguatnya radikalisme di Indonesia atau Taliban jadi eyes opener atas radikalisme yang manakutkan dunia (delegitimasi pada gerakan radikalisme). Frame “Hijacked Islam” atau Islam yang dibajak oleh kelompok-kelompok teroris pasca nine eleven (9/11) dan juga oleh Taiban telah menaikan Islamophobia di berbagai negara, terutama negara Barat, yang menjadi tugas penting bagi bangsa Indonesia untuk memperkuat moderasi beragama.
Paham Taliban atau Talibanisme memiliki ruang Indonesia karena adanya wilayah post konflik yang miskin (apalagi banyak anak yatim piatu), adanya paham keagamaan doktriner, adanya wilayah-wilayah dengan isu kekerasan seksual yang tidak dipulihkan, romantisme pada agama sebagai penyelesai segalanya; dan othering, melainkan agama lain dengan teologi ukhuwah Islamiyah yang mereduksi ukhuwah insaniyah.
Melihat Afghanistan dari Perspektif Gender : Kapital Berharga Pra Taliban Berkuasa
Sebelum Taliban berkuasa, pemerintahan Afhganistan memberikan ruang kepada perempuan Afghanistan untuk berkiprah di ruang publik dan menjadi pejabat. Seperti Dubes perempuan Afghanistan di Indonesia, Roya Rahmani; yang gencar melakukan rebranding wajah Afhganistan dengan informasi sebagai negeri penuh buah, wajah romantisme saffron, kuliner, tekstil, dan lain-lain.
Juga adanya komitmen Kementerian Perempuan Afghanistan untuk mengawal isu perempuan dan perdamaian yang bekerjasama dengan Indonesia. Pemerintah Afghanistan juga mempunyai UU (Dari laporan SR 2014, dampak konflk /situasi perempuan di Afghanistan) ; 22 bentuk (presidential decree) 2009 yang mengatur perkosaan, prostitusi paksa, pembakaran dan peracunan, pengkondisian perempuan yg menjadikan bunuh diri atau merusak diri termasuk disabilitas, menjual untuk tujuan perkawinan, “baad” konsesi perang, perkawian paksa, kawin anak.
Isu-Isu Perempuan di Balik Rejim Taliban
Rejim Taliban yang berkuasa saat ini di Afghanistan banyak melakukan kebijakan dan tindakan yang sangat merugikan perempuan, merampas hak-hak perempuan, seperti: Perjuangan atas hak pendidikan yang penuh syarat (dipisah, hanya boleh sampai sekolah dasar/mula), domestifikasi (pemingitan modern), larangan mobilitas kecuali dengan “mahram”, larangan olahraga dan perintangan hak sehat perempuan, dan cara berpakaian dalam burkah serta larangan hak berekspresi.
Peran CSO (Civil Society Organization) di Tengah Konflik :Perjuangan Perempuan Pembela HAM Afghanistan
Isu HAM di Afghanistan saat ini tentang agama doktriner dan ancaman pada kritisisme, rekruitmen anak-anak dalam perang, penggunaan hukum disiplin (corporal punishment), pengejaran pada jurnalis dan akademisi serta pengungsian massal (masih ada pengungsi Afghanistan di Indonesia dengan problem perempuan pengungsi yang tidak bisa kerja, tidak ada dana, terisolasi, terbentur dengan asas non refoulment).
Walau dipimpin oleh Rezim Taliban, namun peran dan kiprah CSO atau organisasi masyarakat sipil di Afghanistan masih ada, tetap eksis berjuang, seperti perjuangan perawat, memperjuangkan hak hidup perempuan melahirkan dan berhadapan dengan suami Taliban (pernah dikejar-kejar sama Taliban); perempuan pegiat HAM mendokumentasi kondisi perempuan ditahanan dan diserahan ke pengambil kebijakan, mendorong hak ekonomi (membuat karpet) agar perempuan punya hak bermobilitas dan kerja di luar.
CSO di Afghanistan juga masuk ke isu hak kultural, kanal kultural, seperti seni dan aktif di media sosial. Pioner-pioner perempuan juga terus menyuarakan kepentingan perempuan Afghanistan, seperti Salima Mazari yang bertahan di Afghanistan dan tidak lari dengan melakukan demo protes kabinet tidak ada perempuan (tidak ada kementerian perempuan) dan melakukan gerakan humanitarian. CSO di Afghanistan memiliki Kekuatan diaspora, yaitu dari sosok Malala yang kerap mengkritik kebijakan Amerika Serikat di Afghanistan dan menyerukan pemimpin dunia, (international solidarity ) untuk peduli terhadap persoalan HAM dan perempuan di Afghanistan serta kekuatan jaringan para pegiat HAM (women’s solidarity network) di seluruh dunia.
Peran Strategis Diplomasi HAM Indonesia
Dalam menyikapi dan menyelesaikan persoalan HAM, terutama masalah hak perempuan di Afghanistan, posisi dan peran diplomasi Indonesia menjadi penting karena Indonesia memilki modalitas, yaitu: adanya Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI yang memiliki pertautan dengan perempuan Afghanistan. CSO lain di Indonesia juga telah bersuara, seperti melalui kegiatan open mic sikap Indonesia untuk perlindungan perempuan di Afghanistan yang diseelnggarakan oleh AMAN (Asian Muslim Action Network).
CSO Indonesia yang lain juga telah banyak memberikan dukungan untuk persoalan HAM dan perempuan di Afghanistan melalui optimalisasi jaringan CSO regional dengan bahasa Human right dan kekuatan isu HAM serta menggunakan mekanisme HAM di PBB melalui Cedaw atau Icedaw (International Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women) dan Universal Periodic Review. *