Oleh:
Ahmad Fanani Rosyadi (Awe)
Aktivis di Yayasan Inspirasi Indonesia Membangun dan Pernah Aktif di ELSAM
Pasca peristiwa rasisme di Surabaya, Jawa Timur (17/8/2019). Pemerintah Indonesia melakukan pendekatan keamanan secara intensif. Pada April 2020, tiga remaja sipil Papua meninggal dunia karena menjadi korban penembakan aparat gabungan TNI-Polri. Berselang tiga hari kemudian, tepatnya pada 13 April, TNI-Polri kembali menembak mati dua remaja Papua di area tambang PT Freeport Indonesia, Timika saat hendak mencari ikan. Mereka adalah Eden Armando Bebari (20) dan Roni Wandik (23). Operasi militer dalam rangka mengejar Egianus Kogeya dan anggotanya di Nduga juga memakan korban lagi dari remaja sipil bernama Mispo Gwijangge yang dituduh melakukan pembunuhan di Nduga pada 2 Desember 2018 terhadap 17 orang pekerja sipil PT Iskara Karya. Selu Karunggu (20) dan Elias Karunggu (40) yang merupakan anak-bapak dari rombongan pengungsi Nduga juga tewas ditembak oleh anggota TNI saat menjalankan operasi pengejaran di pinggir Sungai Keneyam pada 18 Juli 2020. Dua warga sipil tersebut dituduh oleh TNI sebagai anggota kelompok Egianus Kogoya.
Pemerintah menggunakan dalih keamanan dan penegakan kedaulatan negara untuk menerjunkan aparat keamanan dan militer dalam jumlah besar ke Papua. Penambahan pasukan gabungan TNI-Polri terjadi pasca-demonstrasi anti rasisme bulan Agustus dan September 2019. Terhitung sejak 21-30 Agustus, TNI-Polri telah menerjunkan sekitar 2.529 personel ke Papua. Pemerintah juga terus membangun markas TNI baru di Papua. Salah satu rencana pembangunan tersebut adalah Markas Komando (Mako) Komando Gabungan Wilayah Pertahanan III (Kogabwilhan III) Kabupaten Mimika, Provinsi Papua yang 78 hektar lahannya diklaim TNI merupakan hibah dari masyarakat setempat. Selain Mako Kogabwilhan III, TNI juga membangun markas Kodim Tambrauw 1810 di Papua Barat. Kendati masyarakat menolak pembangunan kodim tersebut, pada 16 Juli 2020, 50 anggota TNI sudah tiba untuk ditempatkan di sana. Sampai tulisan ini dibuat, pembangunan kodim tersebut belum mendapat izin penggunaan lokasi dari pemilik tanah ulayat.
Selain markas baru bagi TNI di Papua, pemerintah juga membangun markas baru bagi Polri. Pada November 2019, Kapolda Papua, Irjen Pol Paulus Waterpauw mengatakan bahwa Mabes Polri saat ini sudah menyetujui pembentukan lima polres di Papua masing-masing di Kabupaten Puncak, Intan Jaya, Nduga, Deiyai dan Kabupaten Yalimo. Pembentukan polres itu merupakan usulan dari Polda Papua dengan pertimbangan keamanan. Selain mengusulkan pembentukan polres, Polda Papua juga mengusulkan peningkatan status polres agar sejajar dengan TNI AD, namun yang diterima dan ditingkatkan statusnya adalah Polres Jayapura Kota.
Isu keamanan menjadi dalih pemerintah sejak dulu untuk menegakkan kedaulatan. Separatisme selalu menjadi isu utama yang digunakan untuk menerjunkan aparat besar-besaran ke Papua. Padahal jika ditelisik, ancaman Organisasi Papua Merdeka (OPM) tidak sesignifikan, misalnya, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang lebih solid terorganisir. Selain tidak memiliki kekuatan persenjataan yang besar, OPM juga tidak memiliki struktur organisasi dan garis komando tunggal karena terpecah- belah ke dalam kelompok-kelompok kecil. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan, mengapa terjadi penerjunan aparat dalam skala masif? Pertanyaan ini patut diajukan karena masyarakat sipil menjadi korban terus-menerus akibat pendekatan keamanan yang tak pernah diubah pemerintah.
Politik Pemerintah Pusat
Peristiwa rasisme di Surabaya memiliki dampak signifikan terhadap orang Papua. Gelombang protes meluas ke berbagai daerah, baik di dalam maupun di luar Papua. Dalam laporannya, Tapol, LSM internasional berbasis di Inggris, menyebut gelombang protes tersebut sebagai Gerakan West Papua Melawan. Laporan tersebut mencatat bahwa protes terjadi di 23 kabupaten/kota di Provinsi Papua dan Papua Barat, 17 kota di Indonesia, dan 3 kota di luar negeri yang berlangsung dari 19 Agustus sampai 30 September 2019. Sedikitnya, 283 orang menderita luka-luka akibat gesekan dengan aparat (Tapol, 2020). Eskalasi yang terus terjadi sepanjang bulan Agustus-September 2019 tersebut secara langsung bisa dilihat telah mempengaruhi kebijakan ―darurat‖ pemerintah pusat terhadap isu Papua, di antaranya pemutusan jaringan internet (internet shutdown) dan peningkatan jumlah personel keamanan dan militer. Dalam amatan yang lebih luas, dinamika sosial dan politik yang terjadi pada kurun waktu yang sama juga turut mempengaruhi sikap pemerintah yang mengecualikan dua provinsi di Papua dalam moratorium pemekaran daerah (Kompas.com, 22 Januari 2020), dan rencana revisi Undang-Undang Otonomi Khusus.
Secara teoritis, pengambilan berbagai kebijakan di atas bisa dijelaskan dengan konsep intermestik atau internasional-domestik.Dalam konsep ini, proses perubahan kebijakan dianalisis dengan mempertimbangan ide dan kepentingan dari para aktor internasional dan domestik (Diah Estu Kurniawati, 2012). Di level domestik, peristiwa rasisme di Surabaya memperbesar tuntutan referendum Papua yang selama ini dianggap tabu dibicarakan. Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe, misalnya, pernah menyatakan di televisi pada 21 Agustus 2020 bahwa ia tak lagi percaya dengan peraturan perundang-undang seperti UU Otsus dan lebih percaya dengan perjanjian yang dihadiri pihak ketiga seperti lembaga internasional.
Di level internasional, peristiwa tersebut membawa momentum besar bagi para pendukung gerakan di Papua lebih untuk menekan pemerintah Indonesia, terutama terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi setelahnya. Salah satu aktor yang terlibat dalam isu HAM, Veronica Koman, yang merupakan pengacara HAM bagi Papua, mendorong advokasi HAM terkait isu Papua di level internasional. Pasca-peristiwa rasisme di Surabaya, Veronica menjalin komunikasi untuk mencari dukungan internasional, salah satunya menyurati PBB agar Jokowi membebaskan para tahanan politik Papua. Selain dari individu, dukungan juga datang dari negara-negara Melanesia seperti Vanuatu dan Solomon. Negara-negara tersebut juga mengkampanyekan isu pelanggaran HAM Papua di sidang PBB. Tekanan internasional juga membuat aktivis politik pro kemerdekaan Papua diaspora, seperti ULMWP dan Benny Wenda mendapat dukungan luas.
Keterhubungan antara bagaimana dinamika sosial politik yang berlangsung setelah kasus rasisme Surabaya, respon yang muncul setelahnya baik di tataran domestik maupun internasional, dan beberapa pilihan kebijakan yang kemudian telah dan akan diambil oleh pemerintah bisa dilihat, salah satunya, dari pertemuan Presiden Jokowi dengan 61 orang yang diklaim oleh Menkopolhukam Wiranto sebagai tokoh yang merepresentasikan Papua. Dalam pertemuan tersebut, Pemerintah Indonesia terlihat jelas mengupayakan peredaman gejolak sosial-politik yang terjadi dengan mengakomodasi kepentingan elit Papua yang mengusulkan pemekaran Provinsi Papua, pembangunan istana presiden di Papua, hingga penempatan jabatan eselon 1 dan 2 di kementerian dan lembaga pemerintah (Amali, 4 Maret 2020; Intan, 9 Oktober 2019).
Langkah politik pemerintah Indonesia tersebut, sebagaimana disebutkan Amali , oleh beberapa pihak dianggap sebagai strategi pemerintah untuk melupakan dampak yang yang terjadi setelah peristiwa rasisme di Surabaya. Pola ini dianggap mirip dengan pendekatan Indonesia dalam pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969. Lebih dari itu, rencana pemekaran provinsi Papua Selatan disinyalir hanya menguntungkan para pendatang dan elit politik yang mengincar kursi jabatan.
Kesimpulan
Rangkaian pelanggaran HAM yang terjadi di Papua yang diselimuti dengan sikap rasisme tidak terlepas dari akar sejarah panjang pengintegrasian Papua sebagai bagian dari NKRI, sehingga apa yang kita temui dalam peristiwa rasisme di Surabaya, 16 Agustus 2019 lalu yang dialami mahasiswa Papua merupakan bagian dari keberlanjutan potret ketimpangan dan ketidakadilan hukum, sosial dan politik di Papua.
Proses integrasi yang sudah dimulai sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 tersebut dilakukan dengan menggunakan pendekatan keamanan/militeristik yang mengakibatkan pelanggaran HAM, perampasan lahan, diskriminasi, dan peminggiran secara umum terhadap orang Papua. Turunnya pemerintahan otoritarian Soeharto ternyata tak mengubah pendekatan pemerintah pusat terhadap orang Papua. Kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) melalui Undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua yang diklaim sebagai pendekatan kesejahteraan ternyata tidak berdampak banyak terhadap penyelesaian isu Papua, terutama pelanggaran HAM. Terbukti dengan masih diterjunkannya TNI/Polri dalam berbagai operasi di Papua dan dibangunnya markas-markas militer baru dengan dalih mempertahankan kedaulatan dan keamanan negara dari ancaman separatisme. Pendekatan keamanan ini pula yang masih diambil oleh pemerintahan Jokowi dalam mengatasi demonstrasi besar-besaran, baik di wilayah Papua maupun di puluhan kota lain di Indonesia, pasca-peristiwa rasisme di Surabaya. Ratusan orang ditangkap dan puluhan orang di antaranya ditetapkan sebagai tersangka dalam proses hukum yang diskriminatif. Tidak terhitung berapa banyak yang menjadi korban fisik maupun psikis dari kekerasan aparat dalam menangani gelombang demonstrasi masif ini.
Jalur dialog dengan melibatkan Orang Asli Papua (OAP) yang selama ini sangat minim dilakukan justru digunakan pemerintah pusat dalam merancang kebijakan pemekaran provinsi yang dianggap dapat menyelesaikan persoalan di Papua. Suara-suara protes pun bermunculan, menganggap dialog yang tidak benar-benar merepresentasikan keinginan orang Papua tersebut hanyalah strategi untuk meredam protes pasca-peristiwa rasisme di Surabaya. Strategi yang sama yang pernah diambil pemerintah Indonesia saat Pepera 1969. Jika akar masalah masih diabaikan dan justru pendekatan dan strategi keamanan/militeristik yang tetap diambil oleh pemerintah Indonesia, maka diskriminasi, rasisme, dan eksklusi secara umum terhadap orang Papua akan terus terjadi, besar kemungkinan suara-suara protes akan terus bermunculan.