Home Lingkungan Menggugat UU IKN, dari Hak Adat Sampai Kerusakan Lingkungan

Menggugat UU IKN, dari Hak Adat Sampai Kerusakan Lingkungan

236
0

CATATAN LPL PEDULI LINGKUNGAN (1): MENGGUGAT UU IKN, DARI HAK ADAT SAMPAI KERUSAKAN LINGKUNGAN

Pasca disahkan oleh DPR dalam Rapat Paripurna pada 18 Januari 2022 lalu, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) kini ramai digugat lapisan masyarakat, mulai dari warga adat, tokoh, hingga guru honorer. Secara umum, gugatan dari berbagai kelompok masyarakat ini sama, yaitu masyarakat tidak dilibatkan dalam pembuatan undang-undang.

Yang menarik, seperti yang dilansir oleh Kompas.com (01/04/2022), salah satu penggugat merupakan seorang warga adat Paser Balik di Sepaku, Penajam Paser Utara (PPU) bernama Dahlia menggugat UU IKN ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ia turut terdaftar sebagai pemohon uji formil bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan beberapa figur lain.

Menurut perwakilan tim kuasa hukum penggugat, Muhammad Arman, bahwa  penggugat yang merupakan pemohon adalah warga yang terdampak langsung. Dalam proses itu (pembentukan UU IKN), dia tidak pernah sama sekali dilibatkan dan sekarang rumahnya justru dipatok sebagai kawasan IKN, Pemohon, Dahlia, tinggal sekitar 10 kilometer dari lokasi tempat Presiden RI, Ir, H. Joko Widodo, dan kolega sempat berkemah beberapa waktu lalu. Dahlia kaget karena tiba-tiba rumahnya ada patoknya. Bahkan ketika proses presiden roadshow berkemah, dia tidak tahu,

Sementara itu, Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sumbolinggi, mengatakan bahwa tidak dilibatkannya komunitas adat yang terdampak IKN menjadi fenomena umum dalam pembentukan UU IKN yang serba kilat. Menurut Rukka, kriteria partisipasi publik secara penuh berdasarkan informasi yang lengkap, serta bebas dari tekanan dan intimidasi, tidak terjadi pada komunitas adat. Selain itu, suku Paser Balik termasuk salah satu suku yang terancam punah, terlebih lagi usai lahirnya UU IKN yang tidak mengatur secara terperinci soal perlindungan masyarakat adat.

Sedangkan dari aspek lingkungan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) telah melakukan kajjian dan  membeberkan setidaknya ada tiga permasalahan lingkungan dari hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di ibu kota negara (IKN) baru di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Menurut Manajer Kampanye Eksekutif Nasional WALHI, Wahyu Perdana, ada tiga permasalahan lingkungan di IKN baru, yaitu: Pertama, ancaman terhadap tata air dan risiko perubahan iklim;kedua, ancaman terhadap flora dan fauna; dan ketiga, adanya ancaman terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.

Ancaman terhadap tata air salah satunya menyangkut sistem hidrologi. Dalam KLHS disebutkan sistem tersebut akan terganggu dan air tanah tidak memadai. Dalam laporan WALHI bersama sejumlah LSM lingkungan lainnya juga disebutkan lokasi IKN adalah wilayah strategis dan pendukung kebutuhan sumber air bagi 5 wilayah sekaligus. Lima wilayah yang dimaksud yakni; Balikpapan, Penajam Paser Utara, Kutai Kartanegara wilayah pesisir khususnya Kecamatan Samboja, Kecamatan Muara Jawa serta Kecamatan Loa Kulu dan Kota Samarinda khususnya di bagian selatan. WALHI menyebut dalam kondisi normal saja, Kota Balikpapan seringkali dihadapkan dengan krisis ketersediaan air bersih dan air minum. Sehingga, Panajam Paser menjadi sumber air bagi Balikpapan. “Walaupun dalam tata ruang wilayah telah ditetapkan 52 persen wilayah kota adalah kawasan lindung, tetap saja warga Kota Balikpapan mengalami persoalan krisis air,Selain permasalahan sistem hidrologi, permasalahan lainnya, yaitu wilayah tangkap air (catchment area) terganggu,dan adanya risiko terhadap pencemaran air serta kekeringan. umber air bersih juga tidak memadai sepanjang tahun, dan ketidakmampuan pengelolaan air limbah yang dihasilkan dari IKN dan pendukungnya.

Adapun ancaman kedua, yaitu terkait ancaman terhadap flora dan fauna salah satunya yaitu akan meningkatkan risiko konflik satwa dan manusia, seperti kasus yang sudah muncul adalah  terancam. Selain itu, pembangunan IKN akan mengancam keberadaan ekosistem mangrove di Teluk Balikpapan seluas 2.603,41 hektar.

Sedangkan ancaman ketiga, yaitu ancaman terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Wahyu menyebut lokasi IKN adalah wilayah yang rentan terhadap pencemaran minyak. Pernah terjadi kasus pencemaran minyak dari tumpahan Pertamina di  lokasi IKN baru tersebut. Sehingga imbas dari tingginya pencemaran itu berisiko terhadap penurunan nutrien pada kawasan pesisir dan laut.  Selanjutnya, tingginya konsesi tambang dan banyaknya lubang tambang yang belum ditutup juga meningkatkan resiko pencemaran pada air tanah, permukaan tanah dan kawasan pesisirnya.Pasalnya, terdapat 162 konsesi tambang, kehutanan, perkebunan sawit dan PLTU batu bara di atas wilayah total kawasan IKN baru seluas 180.000 hektar yang setara dengan tiga kali luas DKI Jakarta. ini belum termasuk 7 proyek properti di kota Balikpapan. Selain itu, WALHI juga melihat kehadiran IKN semakin memperparah bencana ekologis dan merampas wilayah kelola rakyat. Apalagi banjir yang terjadi pada wilayah ring I IKN pada akhir 2021, mempertegas wilayah tersebut tidak layak berdasarkan KLHS menjadi lokasi IKN.

Kini, gugatan terhadap UU IKN sedang berproses di MK, namun jika melihat dua alasan di atas, dari korban terdampak langsung yang mewakili masyarakat dan dari hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang disampaikan oleh WALHI,  seharusnya sudah menjadi bukti kuat bagi  MK untuk menerima gugatan dari pemohon daripada menolaknya. Mari kita dukung terus kawan-kawan kita yang sedang menggugat UU iKN ini untuk kepenitingan bangsa ini dan generasi berikutnya.

Sumber: dari pelbagai sumber.