Oleh: Thobib Al Asyhar
Dosen UI
Mudik ke kampung halaman di sebuah desa kabupaten Grobogan Jateng tahun ini terasa berbeda. Meski saya “besar” di perantauan, tetapi saya sangat mencintai desa ini. Desa yang telah mewarnai kehidupan saya saat kecil hingga SD. Setiap ada kesempatan, khususnya saat ada tugas kantor di Semarang dan sekitarnya, saya upayakan “pulkam”. Setidaknya saat Idul Fitri saya “mewajibkan” diri untuk mudik, sekaligus nyekar ke makam kedua orang tua dan saudara yang telah tiada.
Setiap kali “pulkam”, saya selalu melihat perubahan-perubahan di desa saya dan sekitarnya. Misal, berdirinya bangunan rumah-rumah bagus, bahkan bertingkat. Konon banyak penduduk desa yang sukses di kota, lalu membangun rumah-rumah tembok layaknya orang kota. Demikian juga banyak mobil di garasi-garasi penduduk. Bahkan pergaulan anak-anak muda desa juga layaknya generasi mall di kota. Stylist dengan bawaan smartphone canggih.
Lalu apa yang berbeda dari mudik-mudik sebelumnya? Entah mungkin karena saya kurang gaul. Saat ngobrol santai dengan kakak dan adik sambil melepas rindu, ada fakta di kampung-kampung sekarang bahwa air minum dan air buat memasak tidak lagi dari air tanah. Setiap rumah mesti memiliki setidaknya 2 galon untuk minum dan kepentingan memasak. Mereka tidak lagi menggunakan air tanah kecuali untuk keperluan MCK.
Kenapa? Karena sumber air tanah di kampung sekarang sudah tercemar oleh kapur. Kandungan kapur di dalam air tentu sangat berbahaya bagi tubuh manusia. Pun pula sungai atau kali yang dulu saat kecil airnya jernih dan menjadi tempat favorit saya berenang, sekarang warnanya sangat keruh. Buthek lethek! Banyak sampah-sampah atau limbah pasar di buang ke sungai. Nyaris tidak ada aturan yang ditegakkan untuk menjaga sungai tetap bersih. Para pedagang pasar membuang limbah dagangan ke sungai seenaknya.
Bukan hanya itu. Banyak sawah-sawah sekarang telah berdiri rumah-rumah penduduk atau bangunan lain. Bisa jadi pula, warga yang tinggal di dekat sawah dan sungai juga buang sampah “sak geleme” atau semaunya. Dalam obrolan ringan terungkap, masyarakat nyaris tidak memiliki budaya untuk menjaga lingkungan. Tak terkecuali para politisi dan pimpinan daerah, khususnya Bupati, Camat, maupun lurah juga nampak ignorance (abai) atas isu lingkungan. Terus piye iki?
Pastinya, saya sedih banget. Dulu, mau mandi maupun memasak air minum/masakan dari sumber air tanah tetap sehat. Malah bikin waras bergas. Demikian juga sungai-sungai airnya jernih, bening. Sekarang gimana? Nah ini, kondisi semua itu di kampung-kampung benar-benar rusak. Yang lebih memperihatinkan lagi, para pimpinan daerah tidak memiliki visi untuk menjaga lingkungan. Bisa jadi pula tidak memiliki kemampuan menjaga lingkungan melalui kebijakan-kebijakan yang populis.
Konon, para penguasa daerah lebih asyik memikirkan bagaimana kekuasaan tetap terjaga. Mau kondisi lingkungan seperti apa, tidak peduli. Kalau memang masyarakat perlu beli air minum, ya beli saja. Kalau air sungai tercemar, so what gitu lho? Begitulah kira-kira cara berpikir penguasa daerah. Apalagi jelang 2024. Semua hal dapat “dikapitalisasi” untuk kepentingan politik. Soal amanah undang-undang yang mewajibkan kepala daerah harus memiliki visi menjaga lingkungan kurang dipedulikan.
Kakak dan adik saya bilang, selama ini para pimpinan daerah kurang peduli sama isu lingkungan, untuk tidak dibilang cuek. Bahkan dalam visi pembangunannya tidak serius menggarap isu lingkungan demi masa depan alam. Masyarakat yang diminta berusaha sendiri menjaga lingkungan tanpa kebijakan jelas. Minim edukasi, apalagi kebijakan nyata untuk merawat kelestarian lingkungan, seperti sungai dan pengelolaan limbah. Saya belum mendengar pimpinan daerah ini melakukan terobosan melalui program pengelolaan limbah dengan memanfaatkan teknologi.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin kampung-kampung kita akan mengalami kerusakan lingkungan yang lebih parah. Krisis air bersih, timbulnya berbagai penyakit karena sungai-sungai yang tercemar, dan kualitas udara yang semakin memburuk, dan dampaknya mulai terasa.
Akankah kita tetap membiarkan lingkungan kampung-kampung menjadi rusak karena ketidakpedulian kita dan para pemimpin daerah? Janganlah membiarkan masyarakat menjadi apatis untuk memilih calon pimpinan daerah karena mereka “miskin” ide untuk menjaga lingkungan. Wallaahu a’lam.