Home Catatan HAM KTT Asean & PR Penindasan Rakyat di Labuan Bajo

KTT Asean & PR Penindasan Rakyat di Labuan Bajo

152
0

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki

Kepala Lembaga Peradaban Luhur (LPL)

 Seorang kawan mengirimkan saya sebuah link video yang tayang di akun Twitter @KawanBaikKomodo yang disertai teks penjelasan bahwa warga di Flores (Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur/NTT) ini termasuk berani menghadapi rezim @jokowi, mungkin terlalu berani. Mereka kemungkinan akan hadapi 3 hal: 1. Hak mereka akan segera dipenuhi; 2. Mereka akan berhadapan dengan aparat; 3. Suara mereka diabaikan.

Di video tersebut, yang diwakili oleh seorang anak muda, bersuara keras menuntut hak kompensasi dari tanah dan ladang mereka yang dirampas tanpa ganti rugi untuk akses jalan di Labuan Bajo dengan mengancam akan memagari dan memalangi akses jalan yang merupakan bekas rumah, sawah dan ladang mereka, seperti  di Kampung Cumbi, Desa Warloka,  untuk perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asean  atau Asean Summit yang akan diselenggarakan di Labuan Bajo, 9-11 Mei 2023 dan akan dhadiri oleh seluruh kepala negara Asean sebagai momentum upaya atau jalan terakhir mereka menuntut keadilan. Karena berbagai cara yang mereka tempuh telah tertutup atau sia-sia; dari bertemu bupati, bertemu DPRD Manggarai Barat, bertemu anggota Komisi III DPR RI dan mendatangi pihak keamanan semua buntu, tidak ada jalan keluar. Bahkan dua kali mereka berupaya bertemu dengan Presiden Jokowi, malah dihalang-halangi oleh pihak keamanan.

Link video tersebut dikirim ke saya karena dua hal, yaitu: Pertama, saya berasal dari Flores Timur, NTT yang diharapkan memiliki kepedulian lebih terhadap nasib rakyat NTT di video tersebut; dan kedua, Lembaga Peradaban Luhur (LPL) yang saya pimpin bergerak di bidang advokasi dan pemberdayaan masyarakat sipil terlibat dalam kepanitiaan Asean Civil Society Conference/ASEAN Peoples` Forum 2023 (ACSC/APF 2023) yang merupakan forum masyarakat sipil Asean dan pada tahun 2023 Indonesia menjadi tuan rumahnya dalam bentuk co chair (co chairman) atau ketua bersama sehingga diharapkan LPL bisa ikut membantu menyuarakan atas penindasan rakyat, terutama di Kampung Cumbi, Desa Warloka; Kampung Nalis, Desa Macang Tanggar; dan Kampung Kenari, Desa Warloka yang berada di kawasan Labuan Bajo ini.

Saya sudah menghubungi saudara saya dan pihak-pihak terkait di Labuan Bajo terutama pemuda yang ada di video tersebut dan dia mengirimkan rilis dan kronologis terjadinya kasus penindasan rakyat di Labuan Bajo kepada saya serta mengumpulkan berbagai data sehingga dapat disimpulkan terjadinya penindasan terhadap rakyat yang bangunan rumah, sawah dan ladang mereka telah menjadi jalan Labuan Bajo-Golo Mori yang diresmikan oleh Presiden Jokowi pada Selasa pagi, 14 Maret 2023 dan merupakan pelanggaran negara atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021.

Kronologis terjadinya pelanggaran tersebut adalah pembangunan jalan Labuan Bajo menuju kawasan KEK Golo Mori khususnya di Kampung Cumbi, Desa Warloka; dan Kampung Nalis, Desa Macang Tanggar; kampung Kenari; Desa Warloka; Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang diprakarsai oleh Kementrian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat (PUPR) Republik Indonesia dan PT WIKA sebagai pelaksana teknis. Proyek ini telah mengisahkan begitu banyak tangisan warga yang sawah, kebun, dan rumahnya digusur tanpa ada ganti rugi

Pada prinsipnya, masyarakat mendukung kegiatan pembangunan yang gencar di kota pariwisata Super Premium Labuan Bajo. Bahkan masyarakat berterimakasih kepada Presiden Jokowi yang menaruh perhatian begitu besar di wilayah Manggarai Barat melalui begitu banyak pembangunan dan penataan kota Labuan Bajo. Namun, semarak pembangunan tersebut menimbulkan keresahan dan keprihatinan yang besar bagi masyarakat Manggarai Barat, khususnya masyarakat di kampung Cumbi, Nalis, dan Kenari yang menjadi korban penggusuran dan pembangunan jalan menuju KEK Golo Mori. Proyek pembangunan Jalan ini adalah Proyek Strategis Nasional dengan anggaran proyek yang sangat fantastis mencapai 400 miliar. Dan diyakini bahwa nilai proyek  sebesar ini pasti dianggarkan juga untuk proses pengadaan tanah bagi kepentingan umum dan kompensasi, sebagaimana yang diamanatkan oleh UU N0. 2 Tahun 2012, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020, dan PP No.19 Tahun 2021.

Aktivitas penggusuran jalan sudah dimulai sejak bulan Februari 2022 dimana hampir semua tahapan dan proses pembangunan ini tidak melibatkan semua masyarakat. Sosialisasi di tingkat desa hanya mengundang dan melibatkan perwakilan/utusan kampung. Hal ini menyalahi aturan dan prosedur pembangunan karena setiap tahapannya tidak melibatkan individu pemegang hak atas tanah dan rumah.

Rerdapat 51 warga korban dari kampung Cumbi, Nalis, dan Kenari  (mayoritas petani dan guru honor) yang terus memperjuangkan haknya menuntut ganti rugi. Jumlah aset warga yang menjadi korban penggusuran sebagai berikut:

  1. Sebanyak 2 rumah permanen 2 lantai
  2. Sebanyak 5 rumah permanen
  3. Sebanyak 16 rumah semi permanen
  4. Sebanyak 14.050 m² pekarangan
  5. Sebanyak 1.790 m² sawah
  6. Sebanyak 1.080 m² ladang

Aset masyarakat Cumbi, Nalis, dan Kenari tersebut di atas sampai saat ini belum mendapat kompensasi atau ganti rugi. Hal ini sangat memprihatinkan karena semua proyek strategis nasional di seluruh Indonesia memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada masyarakat yang asetnya diambil untuk kepentingan umum. Presiden Jokowi menyebutnya sebagai ganti untung karena masyarakat selain mendapat keuntungan dari pembangunan itu juga mendapat kompensasi terhadap asetnya yang diambil untuk kepentingan pembangunan itu. Apakah warga Cumbi, Nalis, dan Kenari bukan warga negara Indonesia? Oleh karena itu, proyek ini telah menimbulkan ketidakadilan di tengah masyarakat karena sejumlah warga yang terdampak di jalur itu sudah mendapat ganti rugi yang nilainya mencapai ratusan juta rupiah, sedangkan warga Cumbi dan Nalis sampai saat ini tidak mendapat ganti rugi. Diduga bahwa anggaran kompensasi telah diterima oleh pihak lain yang selama ini berusaha menghalang-halangi masyarakat untuk mendapat ganti rugi. Dengan demikian, proyek ini berindikasi korupsi.

Adanya indikasi korupsi karena pejabat negara di Jakarta mengatakan bahwa jangan pernah katakan bahwa Pemerintah Pusat tidak memberi ganti rugi atas pembangunan yang mengorbankan hak warga. Sementara Pemerintah Daerah Manggarai Barat sejak awal mengatakan tidak ada ganti rugi. Oleh karena itu, masyarakat korban selalu bertanya kemana anggaran itu? anggaran ini mengendap dimana? Mengalir kemana?

Juga dilihat adanya indikasi bahwa pejabat terkait tidak memberikan informasi yang benar dan menutupi informasi tentang peraturan yang mengatur pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Bahkan dalam dokumen digital dan data yang dihimpun menunjukkan ada indikasi tekanan dan intimidasi kepada masyarakat untuk menandatangani dokumen persetujuan pembangunan jalan tanpa ganti rugi.

Sebagai upaya memperjuangkan hak-haknya yang diabaikan dalam pembangunan ini, masyarakat korban dan JPIC SVD Ruteng dan mitranya sudah melakukan beberapa langkah berikut:

  1. Pada tanggal 10 mei 2022 menemui Anggota Komisi III dan Komisi XI DPR RI
  2. Pada tanggal 21 Juni 2022 Mengirim Surat Ke Presiden RI dan Instansi terkait
  3. Pada tanggal 23 Juni 2022 Menemui Asisten II Pemkab Manggarai Barat
  4. Pada tanggal 20 Juli 2022 Menemui Pejabat Kepresidenan dan menitipkan surat untuk Presiden (Kunjungan Presiden ke Labuan Bajo)
  5. Pada tanggal 22 Juli 2022 perwakilan masyarakat membentangkan spanduk tuntutan ganti rugi dan Berusaha bertemu langsung Presiden Joko Widodo, namun dihadang aparat Kepolisian
  6. Pada tanggal 5 Oktober 2022 Menemui Kabag Tatapem dan DPRD Manggarai Barat
  7. Pada tanggal 24 Oktober 2022 Menemui Asisten I, Kepala BPBD, Dinas Perhubungan, Kabag Tatapem kabupaten Manggarai Barat
  8. Pada tanggal 7 Desember 2022 mengirim surat dan bukti-bukti kepemilikan tanah dan rumah ke Bupati Manggarai Barat, DPRD Manggarai Barat, dan PT. WIKA Labuan Bajo.

 

Semua upaya diatas tidak mendapat tanggapan dan informasi dari pemerintah dan perusahaan sampai hari ini. Itu berarti pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah tidak memiliki kepedulian sama sekali terhadap hak rakyatnya yang dilanggar.

Sehingga rakyat yang menjadi korban penindasan ini, bersama institusi dan LSM yang mendampinginya telah meminta kepada:

Pertama, Pemerintah Pusat melalui Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan PT WIKA untuk melaksanakan amanat undang-undang dan peraturan pemerintah untuk memberikan ganti rugi yang wajar dan adil kepada masyarakat Cumbi, Nalis, dan Kenari, yang lahannya digusur untuk kepentingan pembangunan jalan tersebut.

Kedua, Pemerintah Pusat, Kejaksaan RI, dan KPK RI segera melakukan audit keuangan dan audit lapangan terhadap semua kontraktor yang mengerjakan pembangunan Jalan menuju KEK Golo Mori serta memeriksa Kementrian PUPR dan Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Barat terkait anggaran ganti rugi pembangunan jalan tersebut.

Ketiga, aparat keamanan (TNI, POLRI, POL PP) untuk tidak terlibat mengintimidasi warga yang menuntut haknya tetapi mengayomi dan menjaga ketertiban serta ketentraman masyarakat.

Namun, karena permintaan tersebut sampai saat ini belum juga dikabulkan, maka memagari dan memalangi akses jalan yang merupakan bekas rumah, sawah dan ladang mereka untuk acara KTT Asean atau Asean Summit menjadi cara terakhir. Merdeka!